PLASTIK, PLASTIK, SIAPA YANG BERTANGGUNGJAWAB?




Paus sperma yang ditemukan mati dan di dalam perutnya ditemukan 6 kg sampah plastik sudah menjadi suatu berita viral bagi masyarakat Indonesia dan dunia saat ini. Malu? Tentu saja. Si Paus ini hidup di daerah laut Indonesia. Laut Indonesia adalah ujung dari sungai-sungai Indonesia. Siapa yang most likely mencemari sungai Indonesia? Tentu masyarakat Indonesia. Mau ditaruh mana muka kita? Akhirnya ketahuan juga jati diri masyarakat Indonesia. Bukannya saya bermaksud menjelek-jelekkan negara sendiri. Tapi ayolah sadar diri. Plastik merupakan masalah yang benar-benar harus digarisbawahi dan ditindaklanjuti. Plastik sudah menjadi masalah yang tak henti-henti terjadi. Plastik sudah menjadi masalah yang bahkan membuat saya berpikir berulang kali, bagaimana cara mengatasi hal ini?

Saya belanja di supermarket sudah benar-benar menolak penggunaan plastik. Semua orang yang mengantre di belakang saya juga bisa melihat apa yang saya ucapkan dan lakukan. 
Mbak, gak usah kantong plastik ya..
 Semua orang bisa memandang saya mengeluarkan tote bag dan meletakkan barang belanjaan saya di dalamnya.Tapi, pembeli setelah saya dan selanjutnya tetap saja mengambil layanan plastik murah dari supermarket.
Halah... bayar Rp200 saja kan? Mana ngaruh ke dompet?
Ya itulah faktanya. Kalau boleh saya memilih instan dan cepat dan tidak repot, dengan hati batu yang tidak memikirkan lingkungan, ya saya akan rela membayar uang semurah itu agar saya tidak terbebani harus membawa kantong sendiri sebagai kemasan.

Lalu masalahnya apakah harga plastik kurang mahal?
Bisa jadi. 
Tapi, ada banyak orang kaya yang rekeningnya tidak akan habis begitu saja dengan membayar kenaikan harga satu kantong plastik. Bukankah begitu?

Selain itu, walau saya menggunakan tas yang tidak sekali pakai, barang-barang yang saya masukkan sebenarnya ya berkemasan plastik juga. 

Lalu bagaimana?
Ya setidaknya kita mengurangi kantong plastiknya..Tapi apakah itu cukup?

Kadang saya berpikir apakah kampanye dan perilaku preventif menghasilkan sampah plastik  berdampak bagi krisis yang selama ini terjadi? Apakah dengan saya menolak plastik dari supermarket atau bahkan tukang sayur telah membuat perubahan bagi bumi ini? 

Atau sekarang, mari lihat dari perspektif yang berbeda. Semenolak-menolaknya saya, orang-orang terutama pertokoan ini masih provide plastik. Ya namanya sudah disediakan, menolaknya juga susah dong?

Selain itu, mengenai barang yang saya beli berkemasan plastik. Ya adanya memang seperti. Mudahnya memang seperti itu. Murahnya pun harus seperti itu. Adanya, mudahnya, murahnya, alasan apa lagi yang bisa memenangkan ketiganya?

Jadi, kalau boleh saya bertanya, masalah plastik sekali pakai ini sebenarnya siapa yang mendalangi? Kita harus lihat dari perspektif mana sebenarnya?

Who else here also read The Guardian?

Menindaklanjuti hasil membaca dan mendengar berita dan podcast dari The Guardian, saya akhirnya memikirkan siapakah sebenarnya yang bisa kita salahkan dalam krisis plastik sekali pakai.

Haruskah kita menyalahkan kosumen? Kitalah yang selama ini membeli kantong plastik dan barang berkemasan plastik. Buang sampah pada tempatnya atau tidak, plastik tetap kita hasilkan. Mau hidup zero-plastic? Lihat dulu. Apakah lingkungan kita memadai? Mau kampanye-kampanye? Di luar sana banyak orang yang kurang berpendidikan atau bahkan berpendidikan tapi pemikirnnya alot untuk diubah. Iya kita bisa saja menunggu. Kesadaran itu membutuhkan waktu yang lama. Namun sampai kapan kita menunggu? Apakah kita bisa jamin orang yang berkampanye tidak lelah? Ya seperti saya ini, pada akhirnya emosi juga, mengapa orang-orang ini setidaknya sedikit paham mengenai buruknya menghasilkan plastik. Tapi semua orang berbeda dengan kita. Lalu bagaimana? Tidak ada habisnya saya mengeluh ya?

Haruskah kita menyalahkan produsen? Mereka tetap memproduksi plastik. Para konsumen diprovide plastik. Bayangkan, kalau tidak ada plastik yang diproduksi, tentunya konsumen tidak memakai plastik, bukan? Wah.. sepertinya ide bagus, ya? Bagaiama menurut kalian? Apakah itu paling baik dilakukan? Namun bagaimana dengan pabrik-pabriknya? Kita harus bisa menemukan hal bagaimana mereka menggantikan pekerjaan mereka, bukan? Atau kita biarkan saja mereka memproduksi, namun konsumen tetap teredukasi untuk tidak membeli. Ya kita kembali lagi ke permasalahan kapasitas SDMnya.

Haruskah kita menyalahkan pemerintah? Kalau saja pemerintah melarang adanya produksi plastik, pasti tidak akan ada plastik yang dihasilkan, bukan? Kalau saja pemerintah menyediakan fasilitas di semua toko agar semua barang-barang berupa barang refill yang bisa kita beli dengan container sendiri, akan lebih baik bukan? Kalau saja pemerintah lebih tegas dalam menindaklanjuti masalah plastik, tanpa harus menunggu sebuah komunitas/LSM bernegosiasi sedemikian sulit untuk memberikan harga Rp200 pada kantong plastik, tentu maslaah plastik akan mudah teratasi, bukan? Namun bagaimana kita bisa meyakini semua "kalau saja" mudah terjadi? Bagaimana bisa kita menuntut pemerintah yang memiliki banyak hal yang perlu diatasi?

Sebenarnya memang tidak ada solusinya dalam tulisan yang saya buat ini. Tapi mari kita semua coba pikir kembali dan telaah kembali, siapa dalangnya, siapa sumbernya, siapa yang bisa mengambil peran utama dalam masalah plastik ini?

Semoga tulisan ini bisa menginspirasi dan membuat kita berefleksi diri. Jika ada komentar dan pikiran, akan saya terima dengan senang hati.

Komentar